Ketika kita bertemu orang yang tepat untuk dicintai,Ketika kita berada di tempat pada saat yang tepat,
Itulah kesempatan
Apakah mungkin, menunggu peluang tapi sembari mengabaikan kesempatan?
Peluang diciptakan dengan memanfaatkan kesempatan. Untuk menciptakan peluang hidup yang lebih baik ia perlu memanfaatkan kesempatan hidup yang telah diberkahkan kepadanya. Sungguh, jika ia merasa tak diberi kesempatan oleh hidupnya, ia sebenarnya tak memberi kesempatan kepada hidup untuk mengindahkan dirinya.
Berbicara tentang peluang, saya jadi teringat sebuah pengalaman waktu berorganisasi, saat itu sedang ada diskusi kelompok, ketua kelompok berkata, “akan ada diantara kalian yang nantinya ditunjuk sebagai dewan perwakilan kelompok, yang akan mewakili kelompok kita nanti.”
Sejenak hening, namun tak lama si Yuda mendadak bangkit dan mengacungkan tangan, “Ketua, ijinkan saya masuk ke dalam dewan perwakilan itu ya..”
Melihat hal tersebut, ketua kelompok tersenyum. “Baiklah Yuda, kamu saya tunjuk sebagai dewan perwakilan, tentunya kamu adalah orang yang beruntung, karena kamu akan mendapatkan ilmu-ilmu baru nantinya, dan yang lebih seru lagi, kamu akan dipertemukan langsung dengan artis-artis terkenal.”
Mendadak semua anggota yang hadir berdiri dan berkata: “Saya juga ikut pa Ketua!”
Apa kata ketua kelompok:
“Kamu sudah kedahuluan dengan Yuda.”
Coba sobat perhatikan apa yang dilakukan si Yuda ini! Sebuah kejelian memanfaatkan peluang, sehingga dia dengan serta merta bangkit sebelum yang lain mendahului. Dia pun beruntung, sementara yang lain tidak. Ya! Karena ia pandai memanfaatkan peluang. Dan peluang itu tidak selalu datang dua kali.
Sementara kalo berbicara kesempatan, saya jadi ingin berbagi cerita ini. Cerita ini saya copas dari blog teman, mungkin diantara kalian ada yang sudah membacanya, namun bagi yang belum membacanya semoga bisa diambil hikmah dari inti ceritanya.
*****
Diceritakan pernah hidup seseorang yang amat sangat kaya. Diceritakan pula bahwa dia memiliki rumah yang sangat besar. Bukan sembarang rumah, karena di dinding-dindingnya terpajang semua karya seni terbaik yang pernah dikenal umat manusia. Lantainya berlapiskan marmer terbaik, perabot rumahnya adalah perabot paling mewah. Intinya, rumah itu adalah tempat segala keindahan bersemayam. Rumah ini begitu terkenal dan semua orang ingin masuk ke rumah itu. Semua orang ingin menyaksikan sendiri keindahan yang bersemayam di dalamnya. Beruntungnya, Sang Tuan Rumah adalah orang yang ramah dan baik hati. Ia menerima siapapun yang datang ke rumahnya tanpa terkecuali. Jadi, tidak mengherankan kalau rumahnya ini tak pernah sepi. Orang-orang selalu berdatangan dan mengantri di pintu gerbang.
Tapi ada tiga syarat yang ditetapkan oleh si pemilik rumah. Pertama, setiap orang hanya diberikan kesempatan masuk ke rumah itu satu kali saja. Kedua, setiap orang yang mau masuk diharuskan membawa sebuah gelas yang berisi air penuh. Penuh dalam artian sebenarnya, karena permukaan air dalam gelas itu persis menyentuh bibir gelas. Sampai-sampai kita nyaris tak bisa bergerak tanpa menumpahkan airnya. Dan syarat ketiga adalah, air dalam gelas itu tidak boleh tumpah. Setetes pun tak boleh.
Kita sebut saja namanya Yuda lagi. Seperti orang-orang lainnya, ia ingin mengambil kesempatan sekali seumur hidup untuk masuk ke dalam rumah itu. Ia ingin menyaksikan sendiri karya-karya seni terbaik yang terkenal sampai ke seantero jagat itu. Maka di situlah ia, si Yuda, berdiri di tengah antrian dan menunggu namanya dipanggil. Dan saat gilirannya tiba, namanya dipanggil. Ia pun beranjak ke pintu gerbang di mana Sang Tuan Rumah dengan senyum ramah dan satu gelas berisi air di tangannya “Kamu pasti sudah tahu persyaratannya,” kata si Tuan Rumah. Tanpa banyak basa-basi lagi Ia menyodorkan gelas itu.
Yuda pun mengangguk. Lalu diambilnya gelas itu dan mulai melangkah ke dalam. Dengan begitu hati-hati ia menjaga agar air dalam gelas tak tumpah dan membasahi lantai yang dilapisi marmer terbaik itu. Seperti orang-orang lainnya, ia pun berjalan dan mengitari rumah. Menelusuri selasar dan lorong-lorong yang diterangi lampu-lampu kristal. Sekilas ia melihat lukisan-lukisan yang terpajang di situ. Tapi hanya sekilas, karena ia langsung teringat dengan gelasnya. Ia ingin menyenangkan hati Tuan Rumah, dan tak ingin menumpahkan satu tetes pun dalam kunjungannya. Ia takut kalau si Tuan Rumah marah. Sekali dua, ia salah langkah, gerakannya salah, dan satu dua tetes dari gelas itu tumpah membasahi lantai. “mudah-mudahan si Tuan Rumah bisa memaafkanku,” batin Yuda cemas.
Ia terus berjalan dalam kehati-hatian, dan waktu pun terus berlalu. Tahu-tahu ia sudah sampai di ujung lain rumah itu. Perjalanan Yuda pun berakhir dan si Tuan Rumah sudah berdiri di situ, menyambutnya dengan senyuman yang sama ramahnya seperti tadi. “Nah, jadi bagaimana?” tanya sang Tuan Rumah.
“mmm... saya menumpahkan satu dua tetes,” jawab Yuda gugup.
“Tidak apa-apa,” jawab sang Tuan Rumah, “sekarang bagaimana pendapatmu mengenai rumahku? Kamu suka lukisan-lukisan itu? Bagaimana dengan lampu-lampu kristalnya? Aku memilih kristal-krital terbaik, dan hanya memajang disain-disain terbaik. Bagaimana dengan air mancur yang kupajang di tengah taman? Kamu suka marmernya? Bagaimana menurutmu dengan pilihan warnanya?”
Si Yuda kebingungan. Ia tak bisa menjawab satu pertanyaanpun.
“Ah, jangan bilang kamu tak tahu apa-apa mengenai rumahku. Padahal kamu baru saja menelusurinya.”
“Tuan, saya tak sempat memerhatikan apapun. Saya takut menumpahkan air dalam gelas itu,” jawab Yuda.
“Kamu sama saja seperti kebanyakan pengunjung,” ujar si Tuan Rumah kecewa, kemudian membuang air dalam gelas itu ke pot bunga terdekat. Ia mengisinya dengan air lagi kemudian beranjak ke gerbang depan, menghampiri orang-orang lain yang masih ngantri.
Bagaimana dengan Yuda? Ia keluar dari rumah itu dan tak akan punya kesempatan lagi untuk masuk ke situ. Satu-satunya kesempatan yang ia miliki telah ia habiskan untuk “menjaga air dalam gelas” agar tak tumpah. Sesuatu yang bisa saja ia lakukan sendiri di rumahnya, atau di manapun.
******

“Saat sebuah peluang tertutup, terbukalah peluang lainnya; namun seringkali kita terpaku menunggu dan menyesali hilangnya peluang pertama tanpa pernah sadar bahwa sesungguhnya ada kesempatan lain yang terbuka untuk kita jalani.”
When one door closes another door opens; but we so often look so long and so regretfully upon the closed door, that we do not see the ones which open for us. (Alexander Graham Bell)
Sempatkan diri, agar dirimu berpeluang.
Waktu luang hanya diberikan kepada mereka yang sebelumnya telah merelakan waktu dengan menyempatkan diri. Dalam waktu luang itu, ia bahkan menyempatkan dirinya kembali agar peluang-peluang datang lagi.
Happy weekend!!! Semoga bermanfaat....
(rumahreview, milis-bicara)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar