Cinta... memang membingungkan, bahkan terkadang cinta sangat sulit untuk didefinisikan. Cinta datang dan pergi sesuka hati dan bahkan cinta hadir dalam hati tanpa permisi dan tanpa mengucap salam hadir dan hinggap dalam sanubari. Tapi disatu sisi kehadiran cinta pun dapat dijemput, karena cinta hadir dan bersemi karena keterbiasaan. Biasa bersama, biasa bersenda gurau, biasa memberi dan menerima dan seterusnya.Banyak dari kita terbuai olehnya, sehingga pada saat mencinta kita pun sulit untuk tidak mengabaikan logika. Sebagai contoh sederhana adalah pada saat seseorang atau kita sedang jatuh cinta atau mencinta maka yang terlihat oleh kita pada pasangan kita atau orang yang kita cinta adalah hal-hal yang baik-baik saja sedangkan hal yang lainnya berkecenderungan untuk diabaikan.
Dengan kata lain yang bermain dan mendominasi diri kita adalah hati atau perasaan. Begitu pula sebaliknya jika kita sedang kecewa atau sakit hati maka yang terlihat adalah sisi yang berbeda dengan saat kita mencinta.
Logika dan cinta memang tidak dapat digunakan pada saat yang bersamaan dalam waktu yang sama pula karena keduanya memiliki peran dan karakteristik yang unik dan berbeda. Menurut filsafat IPA tidak akan mungkin jika ada kedua kekuatan dengan massa yang sama besar berjalan berdampingan dalam waktu yang bersamaan dengan kapasitas yang sama pula. Begitu pula cinta dan logika tidak akan berdampingan pada saat yang bersamaan dan dalam waktu yang sama pula. Salah satu dari mereka “logika atau cinta” pasti akan kalah atau sengaja dikalahkan. Yang sulit untuk ditentukan mana yang kalah dan mana yang akan menang, semua itu bersifat temporer dan subyektif penilaiannya.
Esensi dari cinta itu pada dasarnya adalah esensi dari jiwa, dimana menurut philosof muslim Al-Farabi dan Aristoteles, jiwa merupakan esensi tersendiri yang bersifat immaterial. Jiwa dapat berdiri sendiri. Berbeda dengan cinta, logika merupakan kepanjangan tangan dari jiwa “cinta” itu sendiri yang merealisasikan dari esensi jiwa melalui sensor-sensornya dan dengan gerakan-gerakan otot yang bekerja. Bekerjanya gerakan otot tersebut dikontrol oleh logika dan logika sangat dipengaruhi oleh jiwa. Logika dapat bekerja jika individunya menerima rangsangan dan respon dari panca indera yang bekerja.
Dengan kata lain pada dasarnya cinta dapat berdiri sendiri tanpa adanya logika yang bekerja. Tetapi jika cinta berdiri dan mendefinisikan dirinya sendiri “cinta”, maka tidak akan terjalin hubungan yang harmonis antar mahluk-mahluk kecil pengisi jagad raya yang sedang mencinta. Sehingga tidak akan ada lagi drama percintaan dalam sebuah sinetron yang mengharu biru atau telenovela yang didalamnya erat dengan cerita percintaan. Hal ini dikarenakan cinta tetap membutuhkan logika sebagai penyeimbang atau balancing dari sikap dan sifatnya.
Misalnya, pengalaman “biasa” yang terjadi pada salah seorang kawannya temanku ini. Andi (bukan nama sebenarnya) merasa dirinya sangat mencintai Annisa (nama samaran pula). Pada suatu waktu, ia menyatakan perasaan yang menurutnya itu cinta kepada Annisa. Tapi ternyata Annisa menolak untuk membalas cintanya Andi. Lantas, betapa hancurnya perasaan Andi setelah mendengar jawaban Annisa.
Menurut logikanya si Andi: jika Annisa tidak mencintai Andi, maka kehidupan Andi sudah tak berarti lagi. Dengan “logika” ini, hari-harinya si Andi sejak saat itu diisi dengan mabuk-mabukan, uring-uringan, dan bahkan mencoba bunuh diri.
Lalu, apakah sesuatu yang merusak diri seperti itu, yang terasa tidak indah lagi, tergolong cinta sejati? Bagaimanakah seharusnya kita menggunakan logika di dalam mengarungi dunia cinta? Logika yang bagaimanakah yang perlu kita sampaikan kepada Andi supaya dia merasa bahwa kehidupannya masih berarti?

Ada sebuah prinsip mengatakan, cinta itu bukan milik manusia tapi milik Tuhan dan DIA bisa menganugerahkan cinta kapan saja dan di mana saja kalau DIA mau, selama DIA belum menganugerahkan cinta untuk kita, lalu kita mau apa. Sebuah prinsip yang bagus dan benar tapi terlalu pasrah, semua yang ada di dunia ini memang milikNYA bukan hanya cinta dan semuanya bisa diusahakan dan tentunya harus dibarengi dengan doa.
Seperti kata orang bijak “love will find you if you try”.
Oleh karena itu, sampai kapan kita harus menunggu turunnya Sang Dewi dari langit kemudian dengan ramah menyapa kita, suatu hal yang kadar kemungkinannya hampir tidak mungkin. Jangan terlalu banyak menonton sinetron, cobalah lebih realistis, sisihkan beberapa menit saja dalam sehari untuk mengusahakan hadirnya cinta dalam hidupmu sehingga hidupmu jadi lebih berarti.
Lalu apakah ini logikanya?
Cinta memang bukan logika dan memang bukan milik manusia tapi kita bisa berusaha menjadi salah satu manusia yang dititipi cinta oleh Sang Pemilik cinta dan belajar dari pengalaman orang lain bukanlah hal yang buruk. Lagi-lagi seperti kata orang bijak ”Apabila semua tempat adalah sekolah maka semua orang adalah guru”. Hiasilah hidup kita dengan cinta karena hanya dengan cinta hidup kita jadi lebih berarti bagi orang-orang di sekeliling kita, bisa dimulai dengan cinta terhadap diri kita sendiri.
”Cinta tidak melemahkan, justru menguatkan, cinta akan membuat hidup jadi lebih bercahaya” begitu kata Buya Hamka.

Cinta dan logika memang hal yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Keduanya akan memainkan peran dan fungsinya masing-masing tergantung dari kebutuhan yang diakomodir oleh insan yang mencinta. Karena pada saat seseorang sedang jatuh cinta dan mencinta maka orang itu secara tidak langsung sudah berpolitik. Hal ini ditunjukan oleh bagaimana ia berusaha untuk memperoleh dan mempertahankan cintanya. Dan yang harus disadari pada saat orang sudah berpolitik maka orang tersebut pasti akan memanipulasi keadaan, menganalisis permasalahan melalui suatu respon dengan stimulasinya atau apa pun. Dengan kata lain pada saat seseorang sedang dan akan mencinta maka ia akan berlogika ria Logika pun memiliki suatu kebutuhan dan prosesi khusus yang menjadi bahan pembelajaran sehingga menjadi suatu penggalan-penggalan cerita dan pengalaman. Dengan bercinta maka orang pun belajar, karena dengan itu akan terjadi proses pembelajaran didalamnya tanpa disadari atau tidak. Disana antara keduanya “cinta dan logika” saling memenuhi dan mengisi tetapi tidak secara besamaan melainkan berselingan. Sehingga definisi tentang cinta pun sangat sulit untuk diungkapkan dengan kata karena kadar perasaan dan hati yang bermain dan diimbangi oleh logika tentunya.

(kompasiana, forever, pacaranislami)

Logika dan cinta memang tidak dapat digunakan pada saat yang bersamaan dalam waktu yang sama pula karena keduanya memiliki peran dan karakteristik yang unik dan berbeda. Menurut filsafat IPA tidak akan mungkin jika ada kedua kekuatan dengan massa yang sama besar berjalan berdampingan dalam waktu yang bersamaan dengan kapasitas yang sama pula. Begitu pula cinta dan logika tidak akan berdampingan pada saat yang bersamaan dan dalam waktu yang sama pula. Salah satu dari mereka “logika atau cinta” pasti akan kalah atau sengaja dikalahkan. Yang sulit untuk ditentukan mana yang kalah dan mana yang akan menang, semua itu bersifat temporer dan subyektif penilaiannya.
Esensi dari cinta itu pada dasarnya adalah esensi dari jiwa, dimana menurut philosof muslim Al-Farabi dan Aristoteles, jiwa merupakan esensi tersendiri yang bersifat immaterial. Jiwa dapat berdiri sendiri. Berbeda dengan cinta, logika merupakan kepanjangan tangan dari jiwa “cinta” itu sendiri yang merealisasikan dari esensi jiwa melalui sensor-sensornya dan dengan gerakan-gerakan otot yang bekerja. Bekerjanya gerakan otot tersebut dikontrol oleh logika dan logika sangat dipengaruhi oleh jiwa. Logika dapat bekerja jika individunya menerima rangsangan dan respon dari panca indera yang bekerja.
Dengan kata lain pada dasarnya cinta dapat berdiri sendiri tanpa adanya logika yang bekerja. Tetapi jika cinta berdiri dan mendefinisikan dirinya sendiri “cinta”, maka tidak akan terjalin hubungan yang harmonis antar mahluk-mahluk kecil pengisi jagad raya yang sedang mencinta. Sehingga tidak akan ada lagi drama percintaan dalam sebuah sinetron yang mengharu biru atau telenovela yang didalamnya erat dengan cerita percintaan. Hal ini dikarenakan cinta tetap membutuhkan logika sebagai penyeimbang atau balancing dari sikap dan sifatnya.
Misalnya, pengalaman “biasa” yang terjadi pada salah seorang kawannya temanku ini. Andi (bukan nama sebenarnya) merasa dirinya sangat mencintai Annisa (nama samaran pula). Pada suatu waktu, ia menyatakan perasaan yang menurutnya itu cinta kepada Annisa. Tapi ternyata Annisa menolak untuk membalas cintanya Andi. Lantas, betapa hancurnya perasaan Andi setelah mendengar jawaban Annisa.
Menurut logikanya si Andi: jika Annisa tidak mencintai Andi, maka kehidupan Andi sudah tak berarti lagi. Dengan “logika” ini, hari-harinya si Andi sejak saat itu diisi dengan mabuk-mabukan, uring-uringan, dan bahkan mencoba bunuh diri.
Lalu, apakah sesuatu yang merusak diri seperti itu, yang terasa tidak indah lagi, tergolong cinta sejati? Bagaimanakah seharusnya kita menggunakan logika di dalam mengarungi dunia cinta? Logika yang bagaimanakah yang perlu kita sampaikan kepada Andi supaya dia merasa bahwa kehidupannya masih berarti?

Ada sebuah prinsip mengatakan, cinta itu bukan milik manusia tapi milik Tuhan dan DIA bisa menganugerahkan cinta kapan saja dan di mana saja kalau DIA mau, selama DIA belum menganugerahkan cinta untuk kita, lalu kita mau apa. Sebuah prinsip yang bagus dan benar tapi terlalu pasrah, semua yang ada di dunia ini memang milikNYA bukan hanya cinta dan semuanya bisa diusahakan dan tentunya harus dibarengi dengan doa.
Seperti kata orang bijak “love will find you if you try”.
Oleh karena itu, sampai kapan kita harus menunggu turunnya Sang Dewi dari langit kemudian dengan ramah menyapa kita, suatu hal yang kadar kemungkinannya hampir tidak mungkin. Jangan terlalu banyak menonton sinetron, cobalah lebih realistis, sisihkan beberapa menit saja dalam sehari untuk mengusahakan hadirnya cinta dalam hidupmu sehingga hidupmu jadi lebih berarti.
Lalu apakah ini logikanya?
Cinta memang bukan logika dan memang bukan milik manusia tapi kita bisa berusaha menjadi salah satu manusia yang dititipi cinta oleh Sang Pemilik cinta dan belajar dari pengalaman orang lain bukanlah hal yang buruk. Lagi-lagi seperti kata orang bijak ”Apabila semua tempat adalah sekolah maka semua orang adalah guru”. Hiasilah hidup kita dengan cinta karena hanya dengan cinta hidup kita jadi lebih berarti bagi orang-orang di sekeliling kita, bisa dimulai dengan cinta terhadap diri kita sendiri.
”Cinta tidak melemahkan, justru menguatkan, cinta akan membuat hidup jadi lebih bercahaya” begitu kata Buya Hamka.

Cinta dan logika memang hal yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan. Keduanya akan memainkan peran dan fungsinya masing-masing tergantung dari kebutuhan yang diakomodir oleh insan yang mencinta. Karena pada saat seseorang sedang jatuh cinta dan mencinta maka orang itu secara tidak langsung sudah berpolitik. Hal ini ditunjukan oleh bagaimana ia berusaha untuk memperoleh dan mempertahankan cintanya. Dan yang harus disadari pada saat orang sudah berpolitik maka orang tersebut pasti akan memanipulasi keadaan, menganalisis permasalahan melalui suatu respon dengan stimulasinya atau apa pun. Dengan kata lain pada saat seseorang sedang dan akan mencinta maka ia akan berlogika ria Logika pun memiliki suatu kebutuhan dan prosesi khusus yang menjadi bahan pembelajaran sehingga menjadi suatu penggalan-penggalan cerita dan pengalaman. Dengan bercinta maka orang pun belajar, karena dengan itu akan terjadi proses pembelajaran didalamnya tanpa disadari atau tidak. Disana antara keduanya “cinta dan logika” saling memenuhi dan mengisi tetapi tidak secara besamaan melainkan berselingan. Sehingga definisi tentang cinta pun sangat sulit untuk diungkapkan dengan kata karena kadar perasaan dan hati yang bermain dan diimbangi oleh logika tentunya.

(kompasiana, forever, pacaranislami)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar